Mata, Kaki, Telinga, Tangan Serta Lidah

5 10 2011

Mata mendengar, bukan hanya melihat

Berbeda dengan tulisan saya sebelumnya, kali ini saya bercerita tentang perjalanan saya ke Propinsi Jambi. Saya akan bercerita kenapa saya bisa sampai ke Jambi. Ya, sesuai prinsip saya, “Bekerja tidak main-main tetapi main-main sambil bekerja”. Silahkan kalian menafsirkan sendiri prinsip saya tersebut.

Oya kenapa di bagian ini saya kasih judul “mata mendengar, bukan hanya melihat”. Perjalanan kali ini saya mengambil banyak hal dari cerita orang-orang yang saya temui. Berbeda dengan tulisan yang sebelumnya saya buat (walau tidak saya upload di blog ini), yang banyak bercerita tentang apa yang saya lihat, bukan saya dengar.

Kembali pada cerita, kenapa saya bisa ke Jambi? Kesempatan ke Jambi kali ini saya bekerja sama dengan DKN (Dewan Kehutanan nasional) dan IGES (Institute Global Environment Strategic), sebuah lembaga penelitian tentang Lingkungan yang berkantor di Jepang untuk melakukan studi tentang REDD+.

Saya menuju Jambi bersama 3 orang rekan kerja, Bapak Agus Setyarso, ketua harian DKN, Titis Dian Pratiwi, staf DKN dan Ibbara Enrique, salah satu staf IGES berkebangsaan Costa Rica yang menangani proyek REDD+ Asia Pasific. Bersama DKN, saya sudah sekitar 2,5 tahun bekerjasama. Dengan Enrique, panggilan akrab Ibbara Enrique, ini adalah pertemuan ke-4, setelah proyek sebelumnya, REDD+ di Jawa dan Sumatera Selatan.

Saya berangkat dari tanggal 16 September 2011. Berangkat dari Jogja menggunakan pesawat menuju Jakarta. Di Bandara Soekarno Hatta Jakarta, saya dan ke tiga rekan kerja bertemu, kemudian melanjutkan perjalanan menuju jambi. Cukup bosan juga karena harus transit di Jakarta selama 5 jam, tapi its oke lah. Paling ga bisa cuci mata, walaupun ternyata ga ada yang bening, tepatnya sedikit.

Dicerita yang saya tulis ini, saya bukan ingin bercerita tentang proyek yang sedang saya kerjakan. Di sini, saya akan cerita tentang perjalanan saya dari awal sampai selesai diluar pekerjaan yang saya lakukan.

Jambi, Antara Minang dan Palembang

Sekitar pukul 16.30 WIB akhirnya saya sampai di bandara Thaha Jambi. Ini sudah kali ke-dua saya menginjakkan kaki di tanah melayu ini selama 2011. Tidak ada yang banyak berubah memang, masih menjadi kota yang tidak ramai bagiku.

Jalanan masih saja sepi saat itu, agak sedikit bersih sepertinya. Setelah saya bertanya pada sopir yang menjemput saya, ternyata Presiden RI mau datang. “Kasihan, presidenya dibohongi pejabat daerah”, dalam hatiku. Memang jalanan tampak bersih sore itu, dan patung-patung khas melayu yang menjadi khas kota ini menyambut kami dengan senyum yang pelit, hanya sedikit soalnya.

Salah satu patung di Jambi yang khas dengan pakaian melayu

Kota jambi, sebenarnya tidak ada yang menarik bagiku. Tidak ada tempat wisata yang luar biasa, hanya pinggiran Sungai Batang Bahari yang saat malam hari banyak dipenuhi para kawula muda melayu memadu kasih atau beberapa warga yang sekedar menikmati jagung bakar dan es tebu. Kuliner juga tidak ada yang menarik, bukan di Kota Padang, tapi semua rumah makan menyajikan masakan padang. Bukan Palembang, tapi banyak yang menjajakan Pempek, Tekwan dan sejenisnya. Pikirku, kota ini mungkin peralihan Palembang dan Minang. Untuk mengisi amunisi, kami pun makan dan wisata kuliner terlebih dahulu, sebuah ritual wajib yang membuatku bengkak tapi menyenangkan.

Masakan Padang yang banyak ditemui di Jambi sebagai menu utama Rumah makan

Pempek, makanan khas Palembang yang cukup banyak ditemui di Jambi

Hutan, Sawit dan Durian

Setelah selesai makan kamipun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Penelitian yang kami lakukan berada di Desa Talang Tembago, kecamatan Sungai tenang, kabupaten Merangin yang harus kami tempuh dengan mobil sekitar 12 jam.

Setelah sholat magrib, kamipun meluncur. Meninggalkan Kota Jambi, pemandangan tak sedap pun kami temui. Apalagi kalau bukan perkebunan sawit. Dari awal memang saya ga suka dengan sawit, bukan terlalu idealis dengan kehutanan, tapi sawit memang tidak konservasionis. Biarlah, toh apapun yang ku rasakan ga akan bisa mengubah segalanya, pikirku.

Sesekali kami masih melewati hutan yang lebat. Ya cukup membuat senang, walaupun malam cukup gelap. Dan satu hal lain yang kami temui sepanjang jalan menuju kota kabupaten Merangin adalah pemukiman. Disini ada yang menarik, karena banyak warga malam hari yang menjual duren. Apa mau dikata, duren pun menjadi pengantar menuju Kabupaten Merangin.

Beberapa durian masih dijajakan oleh masyarakat di pinggir jalan

Sekitar Pukul 00.00 kami sampai di Kabupaten Maringin, Kota Bangko. Di Bangko, kami harus menginap di Hotel, hotel sederhana yang harganya cukup mahal menurutku, Rp 300.000 per malam. Istirahat dan menyiapkan stamina untuk esok pagi, pukul 06.00 harus siap berangkat.

Setelah sarapan makanan khas Merangin, Nasi gemuk, kamipun melanjutkan perjalanan dengan Strada Triton yang memang sebelumnya mengantar kami meninggalkan Jambi. Kota bangko, bukan kota yang menarik juga, seperti kota-kota kabupaten lainya. Kurang rapi, sepi di pagi hari. Bahkan kami harus menunggu pukul 08.00 untuk mengisi bahan bakar, Asu dalam hatiku.

Nasi gemuk, makanan khas Merangin

Jam 08.00 setelah mengisi BBM kami melanjutkan perjalanan menuju desa, skeitar 6 jam kami harus melakukan perjalanan darat. Bagiku, bukan masalah, mau berapa jam, jalani saja. Ternyata sepanjang perjalanan, tidak semulus yang kami sangka. Mulai jalan yang jelek, jembatan yang sedang diperbaiki dan kayu tumbang. Pikir saya untuk menuju Kota kecamatan itu ga ditemui, ternyata, kami harus berhadapan dengan hal-hal seperti itu.

Akhirnya sekitar pukul 15.00 kami sampai di Desa Talang Tembago. Wow, desa yang sangat menarik dalam hatiku. Ramah, sejuk, karena desa ini berada di bawah bukit yang hutan alamnya masih lebat. Saya pun tersenyum, akhirnya masuk hutan setelah beberapa bulan ga masuk hutan alam.

Strada Triton yang mengantar kami dari Jambi parkir di Lapangan Kampung

Saya dan rombongan menginap di Rumah Kepala kampung, Bapak Darnawi, kami disambut dengan makanan khas minang, pedas dan berminyak. Dari rombongan dari Jawa, hanya saya dan Titis Dian yang harus tinggal 6 hari di Kmapung ini. Bapak Agus dan Enrique harus rapat di Jakarta.

Salah satu warga saat sore hari beristirahat di balik jendela sambil melihat situasi luar rumah

Suasana makan di Kepala Kampung

Sepenggal Keramahan, Sepucuk Keceriaan dan Hamparan Keindahan Talang Tembago

Desa Talang Tembago meruapakan salah satu kampung yang berada di Kecamatan Sungai Tenang. Dengan harus perjalanan 12 jam dari Propinsi, 6 Jam dari kota kabupaten dan 2 jam dari kota kecamatan. Saya kurang tau tepatnya jumlah warga dan rumah. Tapi rumah disini masih melayu sekali, dengan rumah yang terbuat dari kayu dan model panggung.

Warga masih mengandalkan hutan. Tiap pagi warga masuk hutan untuk mencari sayur-sayuran yang mereka tanam denagn sedikit membuka lahan.

Oia, disini juga belum ada sinyal. Listrik hanya ada saat malam hari dengan memanfaatkan tenaga mikro hidro. Miris kan rasanya, disaat pemerintah dengan pembangunan luar biasa, masih ada kampung yang belum dapat berkomunikasi denagn tehnologi….?

Rumah di talang Tembago saat pagi hari. Kabut masih cukup tebal

Bercerita sebuah kampung ,menjadi menarik sekali bagi saya dibanding jalan-jalan di tengah megahnya sebuah kota  metropolitan. Hari ke-dua di Kampung Talang Tembago pun tidak saya sia-siakan. Hari kedua saya ternyata sudah bisa berbaur dengan beberapa warga.

Setiap pagi sebelum melakukan penelitian saya selalu ngobrol dengan ibu-ibu dan bapak-bapak  yang mau ke hutan. Sorenya, saya becanda dengan anak-anak di sana, apalagi saya membawa kamera dan laptop. Maklum, di kampung ini, tehnologi memang masih belum berkembang.

Beberapa warga yang bersiap untuk menuju hutan

Mereka bercerita tentang hidup mereka yang menggantungkan hutan. Tanpa hutan kami tidak bisa hidup, ungkap salah satu warga yang saya temui pertama kali.  Saya pun semakin betah. Keceriaan anak-anak disini sangat luar biasa. Walaupun jarak dari kota dan kehidupan di dalam hutan, mereka tidak takut dengan pendatang seperti saya. Bahkan, kami bermain bersama dan foto-foto bersama.Ketika saya menenteng kamera, mereka berlarian mendatangiku untuk melihat hasil jepretan saya dan tentunya, dilanjutkan foto-foto mereka. Sangat menyenangkan sekali.

Semangat mereka terlihat dari tawanya, para pemuda cilik Talang Tembago……….!

Tawa gadis cilik talang Tembago

Tak hanya keceriaan dan semangat warga yang selalu ada, keindahan kampung ini juga sangat luar biasa. Hutan, sungai, air terjun menambah betah untuk tinggal di kampung ini.

Air Terjun Empenau, air terjun yang berada dekat di Kampung Talang Tembago

Kampung melayu islam berdarah hindu jawa kuno

Banyak yang mereka ceritakan kepada saya. Tidak hanya tentang kehidupan mereka yang bergantung dengan hutan, tapi bagaimana awal mula tentang kampung ini. Ups, dan saya memperoleh informasi yang menarik. Kampung Talang Tembago dan beberapa kampung di sekitarnya nenek moyangnya berasal dari jawa yang menganut hindu kuno.

Tentang darah mereka yang ternyata keturunan Hindu jawa kuno, keindahan danau dan tentang perkampungan Madras, di part berikutnya…..

 





Hello world!

30 06 2010

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!